Profesionalitas Media dan Jurnalis di Tengah Euforia Kebebasan Pers

Spread the love

Advokatnews,

Oleh: SJ Ependi (Pimred Advokat News)

MEDIA mengalami euforia sejak pascarefornasi 1998 hingga kini. Siapapun dengan latar belakang apapun bisa membuat media dan menjadi jurnalis.

Namun, tidak semua media dan wartawan bisa berada pada posisinya sebagai mediator dan pewarta profesional.

Dewan Pers sudah memberikan ketentuan agar media dan wartawan melangkah pada koridor profesionalnya lewat tahapan verifikasi dan kompetensi.

Namun, atas nama kebebasan berbicara, masih ada yang nyir-nyir bahwa berbagai ketentuan Dewan Pers dianggap memasung kebebasan pers.

Untuk itu, sebagai pengingat, saya coba memaparkan kembali idealnya suatu media atau jurnalis dalam profesi mulianya.

Karena, untuk menjadi jurnalis seseorang harus yakin dan percaya pada hakekat kebenaran yang terkandung di dalam hati nurani.

Untuk mendukungnya, menghormati dan menghargai Hak Asasi setiap orang, harga diri dari setiap individualnya . Karna setiap hari, hidup dan karakter seorang jurnalis akan dipertaruhkan. Maka untuk itu seoarang jurnalis dibutuhkan intergritas, Keberanian, Kejujuran dan Kesabaran ..*

Dengan mengimplementasikan tugas-tugas jurnalistiknya berpegang pada KODE ETIK JURNALISTIK dan HATI NURANI karna itu diatas segalanya.

Ada sebelas kode etik jurnalistik, yaitu:

1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

4.Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

5.Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

6. Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

8. Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

9. Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

10. Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

11. Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Dengan bekal kode etik jurnalistik ini, setidaknya menjadi buku saku yang tertanam dalam Hati, Otak dan Fikiran kemanapun wartawan bertugas, untuk menjadi pedoman plus adab bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mulailah kita, sebagai media, yang berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa untuk mengkawal didalam meneruskan dan meluruskan agenda reformasi dan demokrasi dalam persfektif PERS sebagai pilar demokrasi.

Kebenaran tidak memihak, namun pers berpihak pada upaya pencarian Kebenaran. Dan tugas pers mengungkap kebenaran demi keadilan untuk kedamaian. (*)