Oleh : Achmad Ferdy Firmansyah
Pangkalpinang, 22 – 10 – 2024
ORKESTRASI nada sumbang yang terus merambat di kalangan masyarakat yang dialamatkan kepada salah satu calon kepala daerah dengan kalimat “Menang atau Kalah pilkada nanti kasus hukum akan terus dikembangkan”, hal ini terjadi bukanlah karena design dari propaganda dan agitasi untuk menjatuhkan salah satu Paslon namun hadirnya nada sumbang tersebut hasil dari sebuah keniscayaan hukum sebab akibat atau “Hukum Tabur tuai”.
Narasi balasan dari Paslon dengan menggunakan politik “Playing Victim” pun menjadi strategis untuk dialamatkan kepada masyarakat (pemilih) agar tetap menggunakan politik santun tanpa saling menjatuhkan, menyebar berita hoax (fitnah), dan ujaran kebencian sehingga terjaganya suasana yang kondusif demi suksesi pilkada yang di gaungkan salah satu Paslon melalui media yang begitu masif justru tersirat upaya menahan atau menghambat lajunya orkestrasi nada sumbang yang semakin merambat luas di kalangan masyarakat.
Masyarakat awam sadar akan perbedaan yang sangat kontras antara Menang dan Kalah terhadap calon kepala daerah, yang mana jika menang permasalahan hukum yang bakal dihadapi bisa dikondisikan dengan kuasa relasi yang dimiliki apabila menjadi kepala daerah kembali, sebaliknya jika kalah maka tak ada kekuatan dan kuasa relasi yang bisa digunakan dalam menghadapi permasalahan hukum pasca pilkada nanti. Hal ini lah yang mendorong calon kepala daerah berpotensi melakukan segala daya upaya pilkada ini harus dimenangkan meskipun menempuh jalan Politik transaksional yang merusak substansi demokrasi dengan berbiaya tinggi (Money Politic), pencitraan, penggiringan opini yang kontras dengan fakta, dan “Playing Victim” demi merebut simpati masyarakat agar terpilih kembali sehingga kemenangan itu mampu menutupi kebohongan publik saat menjabat sebelumnya.
Masyarakat awam saat ini sudah sangat dewasa menyikapi dinamika politik yang terjadi di daerah, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mantan Gubernur, Bupati dan Walikota yang menjadi tersangka dan ditahan karena terbukti bersalah “Abuse of Power” atau penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan di pengadilan akibat melanggar sumpah dan janjinya saat pelantikan dalam menjalankan tupoksi dan kewenangan nya sebagai kepala daerah baik itu ketika sedang menjabat maupun berstatus mantan “eks” Kepala Daerah. Dan semua itu terjadi karena akumulasi positif dari suara publik atau peran serta masyarakat dalam berpendapat, berserikat dan berkumpul yang melakukan fungsi kontrol sosialnya agar pemerintah daerah berjalan dengan penuh dedikasi untuk kepentingan masyarakat bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok tertentu (para bohir) yang menggema di panggung media online maupun medsos.
Ditengah-tengah masa kampanye saat ini masyarakat dihujani segala bentuk modus narasi/pendapat yang disampaikan oleh calon, para loyalis serta tokoh-tokoh masyarakat yang terpublikasi lebih bersifat subjektif dan sangat kontradiktif terhadap pandangan umum masyarakat luas baik itu dalam konteks kinerja maupun personal terhadap calon tersebut.
Dan hal tersebut dalam konteks Pesta Demokrasi sesuatu yang wajar, tetapi sebagian besar masyarakat tidak bodoh lagi untuk di Ekploitasi secara politis.
Peran media sebagai pilar demokrasi yang tak lekang oleh waktu dengan prinsip keseimbangan dan perimbangannya dalam menyampaikan informasi kepada publik akan tetap berada pada posisinya sebagai pilar demokrasi siapa pun nanti yang terpilih meskipun ada beberapa media yang di “bajak” hanya untuk kepentingan membangun “framing” calon kepala daerah ialah sosok pemimpin yang berkualitas dan berintegritas. termasuk mempublikasikan “statement” para tokoh masyarakat yang mengendors calon kepala daerah tersebut dalam mengkonter/memutarbalikkan fakta yang sudah terlanjur menyebar luas dikalangan masyarakat akibat dari ketidak jujuran dalam mengemban amanah dari jabatan sebelumnya, justru akan berdampak negatif menambah kehancuran psikologis calon tersebut dikemudian hari karena pasti akan ditinggalkan baik itu oleh media itu sendiri maupun para tokoh yang merasa sudah tidak lagi berkepentingan apabila dalam kontestasi nanti calon kepala daerah itu “Kalah”. Maka saat – saat itu lah Harta dan Tahta menjadi hina dan tidak menjadi amal jariyah karena jalan yang ditempuh sebelum nya terselubung kamuflase, kebohongan, dan kemunafikan demi meraih simpati publik.