Jokowi Beri Ruang PAN Gabung Koalisi

Facebooktwitterredditpinterestlinkedinmail

Advokatnews,

Jakarta – Perbincangan antara Ketua Umum PAN yang juga Ketua MPR Zulkifli Hasan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara usai pelantikan Gubernur Maluku memunculkan dugaan potensi bergabungnya PAN dengan partai koalisi pengusung Jokowi.

Diketahui meski belum diumumkan resmi oleh KPU, hasil hitung cepat lembaga survei dan real count sementara KPU, pasangan 01 Jokowi-Ma’ruf unggul dari pasangan 02 Prabowo-Sandi. Sementara PAN merupakan salah satu pengusung pasangan 02.

Meski PAN membantah dan menyebut hal yang dibicarakan adalah soal usulan pemisahan lagi pemilu presiden dan pemilu legislatif namun kubu Jokowi-Ma’ruf menyatakan tetap membuka pintu bagi PAN dan partai lain untuk bergabung.

Ya, itu kan baru tahapan silaturahim. Ya (tahap pertama) dan kelanjutannya silakan diamati terus-menerus. Kemungkinan ya bisa, sangat mungkin,” kata Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Moeldoko, di Bina Graha, Jakarta, Jumat 26 April 2019.

Usai pemilu 2014 lalu, PAN juga awalnya dalam posisi berseberangan dengan Jokowi. Saat itu PAN mengusung ketua umumnya Hatta Rajasa sebagai Cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Namun pada 2016, partai yang dipimpin Zulkifli Hasan itu akhirnya memutuskan merapat ke pemerintahan. Sebelum keluar lagi karena pada pemilu 2019 dengan tidak mengusung Jokowi.

Moeldoko sendiri tidak menampik bahwa pemerintahan ke depan juga harus kuat. Artinya kata dia, kuat dari sisi eksekutif dan kuat di parlemen. Dengan komposisi saat ini, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf kalau sudah dilantik, sebenarnya juga sudah menguasai parlemen.

“Pemerintahan mana pun di dunia ini menginginkan sebuah pemerintahan yang stabil dan kuat. Pemerintahan yang kuat itu sangat didukung oleh lembaga-lembaga lain. Dengan kekuatan yang ada sekarang bisa saja politik bersifat dinamis. Bisa saja 60 persen, bisa 70 persen, bisa 80 persen,” lanjut dia.

Meski begitu, pihaknya tidak ingin semua partai berada di kubu pemerintahan. Tetap harus ada barisan oposisi yang menjadi pengontrol.

“Sebuah negara yang demokratis perlu ada oposisinya sehingga nanti ada check and balances,” tuturnya. (*Int)

Facebooktwitterlinkedininstagramflickrfoursquaremail