Demokrasi & Anak Kelas 5 SD

Spread the love

Oleh: AHMADI SOFYAN

LIHATLAH anak-anak, ia bertengkar namun sesaat kemudian tertawa dan bermain bareng. Lihatlah anak-anak, tak pernah punya rasa dendam sehingga tak punya musuh.
=======

DEMOKRASI itu asyik, dinikmati dengan santai dan tak perlu menegangkan urat leher apalagi intimidasi dan bermain fisik. Manusia modern adalah manusia yang berdampingan dengan perbedaan, harmoni dalam warna warni. Demokrasi yang masih mengolok-olok, hujat, caci maki, tebar fitnah, tebar kesombongan, tebar hoax, adalah demokrasi yang masih sakit dan penebar virus penyakit.

Dalam menyikapi perbedaan, di rumah saya tanpa ada kurikulumnya, tapi didikan demokrasi ternyata tercipta begitu saja tanpa konsep dan ada sejak dini. Termasuk kala saya masih anak-anak bersama keluarga besar kami kala masih 3 partai dengan asas tunggal Pancasila.

Beberapa minggu terakhir ini di masa Pemilu, anak saya yang masih duduk di kelas 5 SD, Raffandra, dengan bangganya memakai kaos bergambar Prabowo – Gibran. Dengan lantang dia teriak Prabowo – Gibran hampir setiap saat didepan saya yang notabene mendukung pasangan Anies Baswedan – Muhaimin. Saya kasih uang Rp. 30.000 kala dia teriak Prabowo didepan saya. Uangnya diambil, teriakannya tetap konsisten tak berubah yakni Prabowo dan malah langsung mengambil kaos hitam bergambar Prabowo – Gibran. Saya bangga dengan sikap konsisten dan tidak terpengaruh dengan pemberian uang tersebut walau notabene dari ayahnya sendiri. Soal kaos bergambar Prabowo – Gibran, saya gak tahu, dari mana ia dapatkan kaos itu, sebab soal kreativitas mendapatkan sesuatu, putra saya ini sangat kreatif melebihi saya sebagai ayahnya. Saya juga tak bertanya dari mana baik kepada anak saya maupun kepada isteri.

“Pokoknya Prabowo pasti menang! Anies kalah!” selalu begitu ia menyapa saya walau saya diam saja. Sepertinya ia ingin sekali berdebat dengan saya, tapi bahasa orang kampung “ko dak kawa ngulon e”. Saya tahu, dia selalu memantau saya baik dalam status medsos maupun ketika saya diskusi dengan orang-orang di rumah. Diam-diam dia selalu memperhatikan, namun dia selalu mengambil sikap berbeda dengan saya. Sepertinya dia ingin menjadikan saya sebagai “sparring partner”. Namun karena usianya masih sangat belia, jadi jarang sekali saya hiraukan.

Tak selesai disitu, saat kami sama–sama hendak ke TPS, putra kecil saya ini turut serta. Dalam mobil dia bergumam: “Gimana caranya biar saya ikut nyoblos ya. Pengen banget nyoblos nomor 2” begitulah ucapannya sambil melirik senyum ke arah saya yang sedang megang setir. Lagi-lagi saya gak menjawab. “Kita taruhan saja, Yah. Kalau nomor 2 menang, ayah kasih saya Rp. 500.000,- tapi kalau nomor 1 yang menang, ayah maunya gimana?”

Mendengar tantangan anak usia 10 tahun ini, isteri saya tersenyum. Saya pun akhirnya terpaksa menjawab: “Uang jajanmu dihentikan selama 5 bulan. Kamu mau?”. Tanpa pikir panjang dia menjawab tegas: “Oke!!”. Saya kaget juga, kirain dia bakalan mikir sejenak dan menolak atau setidaknya memberikan tawaran lebih ringan. “Memang kamu sanggup nggak dikasih jajan selama 5 bulan?” Tanya saya. Dengan tegas dia menjawab: “Sanggup. Tinggal bawa makanan ke sekolah” jawabnya.

Belum selesai, sebelum menuju TPS saya sarapan dan sempat saya jadikan status di WhatsApp. Status saya tulis:“Sebelum nyoblos sarapan dulu, sebab tidak ada makan siang gratis di TPS”. Baru beberapa detik saya update status, notif HP berbunyi dan ternyata dari putri saya yang duduk di kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (SMP). “Makanya pilih Prabowo” begitu tulisnya mengomentari status ayahnya. “Anakmu….” ujar saya menyerahkan HP kepada isteri. Membaca komentar anak kami ini, isteri pun tersenyum. Saya pun membalas komentar putri saya yang berusia 15 tahun itu dengan emoji menangis. Dia malah jawab dengan tertawa. Begitulah perbedaan pandangan dan pilihan di keluarga kami yang walaupun anak-anak belia ini tidak turut memilih, tapi dukungan jelas berbeda.

Pemilu 2024 ini, banyak pendidikan demokrasi yang saya dapatkan di depan mata saya. Bukan hanya dari 2 anak saya yang berusia 10 tahun & 15 tahun. Tapi cara mereka berdemokrasi dalam memberikan dukungan sangatlah dewasa. Sebab, keponakan saya, Fayed, yang selalu bersama kami di rumah, usianya sama dengan usia putra saya, Raffandra, sama-sama kelas 5 SD walau tidak satu sekolahan. Tiap hari mereka bersama dan selalu berdua kecuali pas sekolah. Dukungan Capres mereka bedua berbeda. Raffandra garis keras dukung 02, sedangkan Fayed garis keras dukung 01. Keduanya pernah saya minta berfhoto, Raffandra saya minta acungkan 1 jari, tapi ia menolak keras, tetap 2 jari. Begitupula dengan Fayed. Keduanya saya fhoto dan diam-diam dari belakang juga saya fhoto mereka berdua duduk berdempetan sambil duduk tepi sungai. Saya senang dengan keakraban dan kebersamaan mereka walau berbeda dukungan politik.

Persamaan mereka berdua hanya di soal sepakbola. Selanjutnya banyak perbedaan yang mencolok. Tapi asyiknya, belum pernah keduanya berkelahi, bertengkar, atau bahkan saling menjelekkan. Yang saya lihat, selalu saling mendukung satu sama lain dalam perbedaan. Bahkan dalam bahasa pun berbeda, Raffandra kental bahasa Indonesia-nya, Fayed sangat sangat kental bahasa Bangka-nya. Kalau Raffandra tiba-tiba tidak paham bahasa Bangka, ia segera bertanya dan langsung menirukan. Lantas karena salah ucap mereka sama-sama ketawa ngakak. Saya memperhatikan, jadi menahan tawa melihat keakraban mereka walau dalam perbedaan.

Sifat Anak-Anak dalam Demokrasi Indonesia
PESTA Demokrasi pastinya menciptakan kubu, hal yang sangat wajar dan harus begitu dan memang begitu berdemkroasi. Namun kubu apapun itu, hendaknya dalam satu suara, yakni untuk Indonesia. Kita berbeda bahkan harus berbeda dalam pilihan, tapi ketika berbicara kepentingan Indonesia kita adalah satu. Jangan sampai hanya karena kubu 01, 02, 03, lalu terus menumbuhkan keretakan anak bangsa. Walau diri kita tidak yakin terhadap Indonesia akan semakin baik, bahkan mungkin semakin buruk, tapi untuk Indonesia kita harus menjaga agar tidak runtuh, tak berpecah belah, apalagi menuntut merdeka lepas dari Indonesia sehingga menjadi negara-negara bagian atau negara sendiri-sendiri sebagaimana Uni Soviet.

Perbedaan dalam pilihan dan dukungan dalam demokrasi, harusnya kita belajar dari anak-anak SD seperti yang saya ceritakan tadi. Bukan karena anak saya, tapi saya yakin, anak-anak lain pun demikian adanya. Sifat anak-anak jangan sampai hilang dalam diri kita orang dewasa. Lihatlah anak-anak, ia bertengkar namun sesaat kemudian tertawa dan bermain bareng. Lihatlah anak-anak, tak pernah punya rasa dendam sehingga tak punya musuh. Lihatlah anak-anak, tak menceritakan kejelekan kawannya dibelakang. Lihatlah anak-anak, mereka bisa saling bersama walau dalam berbeda warna. Mereka selalu ceria dalam perbedaan. Kita masih kalah dengan anak-anak dalam daya demokrasi.

Salam Demokrasi Anak!

(Kebun Tepi Sungai, 14/02/2023)
=====

Ahmadi Sofyan, akrab dikenal dengan nama Atok Kulop. Aktif menulis dan menjadi pemateri dalam berbagai kegiatan. Lebih dari 80-an buku sudah ditulis dan 1.000-an opini di media cetak maupun online.