Oleh : AHMADI SOFYAN
YANG paling ditakuti oleh oligarki adalah apa yang mereka berikan menjadi tidak efektif untuk melanggengkan kekuasaan & kekuatan bisnis
====
KEBUN saya di tepi sungai nun jauh dari hiruk pikuk kota hampir setiap hari didatangi tamu. Dari masyarakat Desa, kawan-kawan masa kecil di kampung, sahabat-sahabat di Kota, pejabat publik baik daerah maupun nasional, polisi, TNI, politisi, Karyawan BUMN hingga guru-guru yang pernah mengajar & mendidik saya semasa sekolah.
Selalu saja ada bahan diskusi, dari hal yang remeh temeh hingga yang berat banget hingga kening berkerut. Tapi sebab suasana yang adem, asri & tepi sungai, seberat apapun diskusinya, selalu diiringi canda tawa ngakak, apalagi kalau sudah keluar rebus ubi :cecel” sambel serai & kopi panas asli Bangka tanpa merek.
Sebab di musim Pemilu, diskusi paling sering dan selalu masuk bahan pembicaraan adalah politik daerah hingga politik nasional. Orang-orang kampung sudah bicara Oligarki. Bikin saya mengerutkan dahi, sebab saya tak lebih paham dari pemahaman mereka.
Secara sederhana oligarki bisa kita terjemahkan yakni struktur pemerintahan atau kekuasaan yang dipegang oleh sekelompok orang yang selalu mengendalikan kekuasaan untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri.
Oligarki dan orang-orang yang haus kekuasaan demi melanggengkan bisnisnya, apalagi yang berkaitan dengan mengeruk kekayaan alam negeri (Sumber Daya Alam), maka hal yang paling menakutkan mereka adalah ketika rakyat tetap mengambil apa yang diberikan, tapi tidak mengikuti kemauan mereka (pemberi). Kalimat mudahnya: “Ambil pemberiannya, jangan ikuti pilihannya”.
Dalam diskusi di Kebun Tepi Sungai, ada kawan yang rada alim dan tegas membantah: “Harusnya jangan diambil dong, kita harus tegas!”. Saya menjawab: “Itu hak kita sebagai rakyat, semisal Bansos, dari uang rakyat memang untuk rakyat. Lagian kalau tidak kita ambil, maka itu akan jatuh ke yang lain yang bisa diatur-atur oleh kemauan mereka.Kalau tak mau dipakai apa yang diberikan, sedekahkan lagi kemana kita mau. Politik itu siasat alias strategi, adu pintar & licik dalam mencapai apa yang diperebutkan”. Sang kawan pun mengangguk tanda setuju atau memang kopiahnya agak berat, sehingga seperti mengangguk.
Kepada beberapa kawan diskusi itu saya sampaikan bahwa kalau hal ini bisa kita didik ke keluarga & kawan-kawan terdekat, sedikit demi sedekit perubahan pola memilih masyarakat kepada para calon penguasa itu akan semakin membaik. Sebab mereka yang duduk adalah orang-orang yang tidak sehat dikarenakan diawali oleh rakyat yang tidak sehat dalam memilih. Kondisi kita pasca reformasi ini adalah Partai “basing” comot calon, rakyat “basing” pilih dan akhirnya yang duduk memegang wewenang adalah “basing urang”, akhirnya ketika duduk “basing gawi”. Wajar dong kalau negeri ini adalah negeri “sebasing”.
Bansos & Penyelewengan Politik Oligarki
MENJELANG Pemilihan Umum seperti sekarang ini, program bantuan sosial kerap dikaitkan sebagai komoditas elektoral. Hal ini tidak terlepas dari temuan sejumlah bansos yang memuat pesan atau gambar pasangan calon tertentu, terutama Capres.
Sial banget, bansos kerap kali dipakai menjadi lahan manipulasi dan alat tunggangan untuk memengaruhi pilihan politik karena sifatnya yang langsung mengena kepada penerimanya. Hal ini membuat bantuan negara tersebut dapat dialihkan penyebutannya sebagai bantuan personal. Sekali lagi Bansos itu adalah BANTUAN NEGARA bukan BANTUAN PERSONAL, sebab menggunakan duit rakyat untuk rakyat. Jadi bansos tidak boleh disebut bantuan dari personal si A si B dan si C. Kita saksikan kebodohan beberapa pejabat negara dan oknum-oknum penjilat para Capres membodoh-bodohi masyarakat dengan menyebut-nyebut bantuan personal atas bansos. Semoga kebodohan seperti ini tidak terjadi lagi di tahun-tahun berikutnya (kalau dinasti kepemimpinan berubah).
Akhirnya, nilai bansos tidak lebih sebagai upaya negara mengikat warganya dalam ikatan pamrih dan kepentingan yang rawan penyelewengan politik oligarki. Jadi jangan heran ketika kemiskinan menjadi alat yang paling efektif bagi oligarki untuk melanggengkan alat kekuasaan mereka dalam setiap Pemilu.
Jika saja rakyat mampu dicerahkan oleh kaum intelektual, akademisi, tokoh agama & masyarakat, bahwa memilih adalah kemerdekaan, di TPS itu tak ada CCTV, pilihlah karena nurani, bukan karena sesuatu yang diberi, sedikit demi sedikit akan tercerahkan bagi pemahaman masyarakat tentang demokrasi. Namun hal ini sangat tidak disukai oligarki. Mereka-mereka yang punya intelektual, ketokohan di masyarakat, justru lebih dulu dibeli. Hehehehe…..
Makanya saya sering katakan kepada kawan-kawan & langsung ke masyarakat: “Ambil yang diberi, ambil Bansos-nya, ambil pengobatan gratisnya, tapi jangan ikuti pilihan dan arahannya”. Sebab jika oligarki sudah memberi, namun pemberian itu ternyata tidak efektif, kekuasaan tak mampu dipertahankan, maka dipastikan itulah yang sangat menakutkan.
Prinsip rakyat, jangan menghargai suara dengan pemberiaan yang gak seberapa, apalagi hanya oleh sembako. Suara rakyatlah yang mampu merubah oligarki oleng kanan kiri sebab rakyat punya pilihan tanpa mau diarah-arahkan. Tapi kalau rakyat memang senang pada permainan oligarki, kekayaan alam Indonesia terus dikeruk, rakyat hanya diberi Bansos, BLT dan saat Pemilu suara dibeli sekian puluh & ratusan ribu, selamat menikmati. Kaum intelek, tokoh masyarakat, kalau tak kuat miskin, bersiap-siap jadi penjilat. Tapi makan siang gratis kok, makan malam dan sarapan pagi plus kopi serta biaya anak sekolah & sebagainya, itu cari sendiri.
Selamat Berpesta Oligarki!!
(Kebun Tepi Sungai, 11/02/2024)
===
*AHMADI SOFYAN, bukan penerima Bansos walau hidup di kebun tepi sungai tapi berteman dengan Oligarki. Ia telah menulis lebih dari 80-an buku & 1.000 opini di media cetak & online. Di Bangka Belitung ia akrab dikenal dengan panggilan Atok Kulop.