Oleh : AHMADI SOFYAN
HANYA karena tak pernah menulis titel didepan atau belakang nama, seringkali seseorang dianggap tidak sarjana. Bagi seorang Penulis, titel & gelar itu justru jangan sampai digunakan….
====
RUSLI Rachman (Allahuyarham) guru saya yang juga gurunya para guru di Bangka Belitung (Anggota DPD RI 1999 – 2004), pernah saya tulis namanya lengkap dengan titel dan gelar, Drs. H. Rusli Rachman, M.Si. Langsung saja oleh beliau titel dan gelar Haji itu dicoret. Saat itu saya jadi Aspri beliau dan editor buku-buku karya beliau.
Ibrahim, anak muda yang kini menjadi Rektor Universitas Bangka Belitung (UBB) seorang pemuda yang dikenal cerdas tak pernah menulis namanya dengan gelar akademik. Bahkan selalu berpesan untuk menyebutkan namanya dalam berbagai kegiatan untuk tidak menyebutkan gelar apapun, only name. Padahal beliau lengkap gelarnya dan peraih 2 gelar doktor. Prof. Dr. Dr. Ibrahim, S.Fil, M.Fil.
Begitulah kalau orang paham soal pendidikan dan bijaksana dalam memahami kehidupan. Makanya di negeri ini begitu banyak ijazah palsu, titel palsu dan pengejar titel akademik agar dianggap orang terpelajar. Makanya tak heran dukun bergelar ustadz. Sebab negeri kita masih “gila” titel dan gelar, sehingga untuk itu rela membeli.
Saya banyak bercengkrama dengan orang-orang bertitel akademik dan bergelar ini itu dari kerjaan atau kesultanan. Mereka memberikan kartu nama (kala itu masih zaman bertukar kartu nama), ternyata mereka-mereka yang hebat secara akademik dan gelar itu tidak menuliskan titel & gelar akademiknya di kartu nama.
Penulis & Titel Akademik
KALAU kita melihat cover atau membaca buku-buku terbitan luar negeri, maka penulis only name (hanya nama) tanpa titel ataupun embel-embel akademik. Pun demikian ketika kita membaca buku-buku dari penulis ternama atau penulis kawakan, tak akan kita temui titel akademik di cover buku yang menorehkan namanya.
Mengapa para penulis kawakan dan orang–orang cerdas diluar negeri tidak menuliskan namanya dengan diiringi titel akademik? Pertama, titel kesarjanaan hanyalah tanda seseorang selesai kuliah dan bukan tanda punya isi kepala (pikiran). Kedua, seorang penulis tidak ingin pikiran yang ia tuangkan dengan titel itu mempengaruhi pembaca secara tidak logis. Sebab pikiran itu harus “dipertengkarkan” tanpa ada embel-embel. Ketiga, Umumnya penulis itu berperang dengan pikirannya, idealis dan tidak terikat dengan kepentingan pribadi, sehingga pasti sangat-sangat risih jika ditulis titel akademik atau embel-embel lainnya.
Masih banyak lagi alasan lainnya, dan saya pun demikian khidmat dengan menyukai itu. Sehingga 80 lebih buku saya yang sudah diterbitkan tidak ada satu pun saya tulis titel akademik maupun gelar Datuk atau apalah dari ini dan itu. 1.000 -an (seribu-an) Opini saya tulis baik di media cetak maupun online, baik kelas lokal maupun nasional, tak sekalipun saya menggunakan titel atau gelar. Tak perlu juga saya menyebut-nyebut prestasi saya kala berstatus mahasiswa, kepemimpinan dalam berbagai organisasi saat masih merantau di Pulau Jawa atau membanggakan diri pernah naik panggung mendapat predikat “duniawi” dari Sang Rektor diantara 2.127 Wisudawan kala itu.
Malah yang sering saya ceritakan adalah saya pernah kuliah di sebuah kampus (padahal 2 kampus) dan menolak diwisuda dengan aksi demonstrasi dan akhirnya saya Drop Out. Untungnya di kampus satunya selesai dengan predikat seperti yang saya sebut diatas. Selanjutnya saya menjadi mahasiswa S2, saat hendak menyelesaikan thesis, saya mengundurkan diri karena merasa sudah cukup pelajarannya. Berikutnya saya ke Jakarta, malah daftar S1 lagi di sebuah kampus Katolik, hanya sebentar dan tak saya selesaikan. Alhamdulillah, ternyata seringkali menjadi Dosen tamu di beberapa kampus walau titelnya rendahan banget. Alhamdulillah pernah menulis & menyelesaikan thesis mahasiswa S2, menulis & menyelesaikan buku beberapa Doktor dan Guru Besar (Proffesor) & pernah ikut bantu-bantu senior yang bergelar Doktor & Proffesor sebagai penulis teks pidato Menteri Agama RI saat dikukuhkan menjadi Guru Besar. Kala itu saya masih berstatus mahasiswa, belum sarjana. Persisnya saya hanya tukang ketik dan tukang rangkum saja.
So, tidak ada hubungannya titel akademik dan gelar ini itu dengan isi kepala (pikiran) seseorang. Jangan dikira kalau sudah bergelar Haji sudah pasti alim. Pun demikian dengan titel akademik. Apalagi gelar tokoh, budayawan, penulis, wartawan, dan lain sebagainya bahwa mereka cerdas atau menguasai dengan gelar atau profesi yang disandang. Begitulah cara kita memahami hidup.
Bangka Belitung & Kegenitan Sosial
SELAMA kembali menetap di Bangka Belitung (setelah 14 tahun merantau), saya seringkali mengalami hal remeh-temeh akibat dari kegenitan sosial. Kadangkala hendak ketawa, tapi “gerigit ati”. Kadangkala hendak berkata kasar, tapi malu sama makhluk halus.
Suatu hari, saya pernah didatangi seorang Dosen, lantas ia berkata: “Sayangnya kamu ini gak pernah kuliah dan tak ada titel sarjana, padahal kamu pintar”. Saya tertawa ngakak terus saya ajarkan banyak hal tentang kesarjanaan, titel dan gelar pada sang Dosen. Kagetlah ia ketika saya adalah sarjana dan saat itu sedang menempuh pendidikan S2 (tapi gak selesai). Sebaliknya, betapa sering saya mendapatkan surat undangan dengan gelar Dr (Doktor), S.H., SE, S.Ag dan lain sebagainya. Bahkan yang namanya gelar Ustadz dan Haji pun sering pula saya dapatkan. Baru beberapa bulan lalu, saya diundang oleh salah satu Kementerian RI untuk menjadi salah satu Narasumber. Tertera di backdrop nama saya dengan gelar Doktor (Dr). Mengawali materi saya jelaskan bahwa saya bukan Doktor, tapi anggap saja Dr. itu bukan Doktor, tapi Devy Restu, nama isteri saya.
Suatu hari saya pernah berbicara dan menulis tentang agama dan dunia pesantren. Tiba-tiba di group WA ada yang komentar keras. “Ahmadi Sofyan ne macem kek tau kek agama bae, macem kek pernah hidup di pesantren bae”. Saya membacanya ketawa tapi jujur tetap “gerigit ati”. Saat itu saya ingin sekali menjawab sombong: “Kakek saya menetap di Makkah, mendirikan pesantren. Saya cucu kiyai. 12 tahun saya nyantri di Pesantren baik di Bangka maupun di Jawa Timur. Saya pernah ngajar di Pesantren di Jawa Timur dan dipanggil Ustadz di sana. Saya pernah jadi Pengurus Pesantren dan sampai detik ini (saat menulis ini), saya masih diminta balik ke Jawa Timur oleh salah satu Kiyai guna mengajar di Pesantrennya. Saya juga berani diadu untuk berceramah, tapi saya merasa gak pantas. Ilmu agama yang saya pelajari sekedar untuk emergancy (darurat). Artinya kalau sudah gak ada orang lain lagi, baru saya maju kedepan”.
Tapi sayangnya, semua itu gak jadi saya lakukan, takut nanti saya merasa hebat dan akhirnya dia malah tertawa, karena curriculum vitae-nya lebih dahsyat.
“Ahmadi Sofyan hanya tamatan SMA, kok disejajarkan dengan Professor?” Kurang lebih begitulah malam tadi saya mendapatkan terusan WA dari seseorang. Begitulah sifat iri dengki dan kedunguan serta kepicikan yang selalu saja terjadi di Negeri Melayu. Inilah salah satu kedunguan sosial.
Salam Dungu!
(Bangka Garage Cafe, 14/02/2024)
Ahmadi Sofyan, akrab disapa Atok Kulop. Seringkali dikira pintar padahal tidak, dikira bodoh padahal dungu, dikira alim padahal picik agama. Pernah sekolah dan kuliah kayak orang-orang, tapi dirinya lebih cenderung “nakal” sehingga jadi pengangguran dan tinggal di kebun lebih disukai ketimbang di keramaian kota.