Surat Keputusan Mendagri 4 Pulau aceh, Timbulkan Gejolak Masyarakat Aceh

Spread the love

Advokatnews, Aceh – Surat keputusan mendagri yang di keluarkan dan ditandatangani oleh Tito Karnavian Cacat Logika, Tito Karnavian tidak faham sejarah dan tidak tahu ada undang undang terkait aceh, dia Tito juga tidak tahu tentang kesepakatan Helsinki, berilah jika seorang jendral hasil dari karbit dan menjabat hasil dari menjilat sehingga dia tidak tahu apa yang dia lakukan, titok Karnavian bisa nya hanya cipta kondisi sesuai keahlian dia waktu masih jadi anggota polri.

Aceh jangan di samaan dengan daerah lain, aceh memiliki ke istimewa khusus sama seperti jogja, aceh juga punya sejarah panjang terhadap Republik indonesia.

Saya meminta presiden prabowo untuk memberhentikan Tito Karnavian sebagai mentri dalam negeri, dia tak pantas jadi mentri.

Aceh selama ini sudah cukup damai, kenapa ujuk ujuk tito bikin gaduh, apa dia spesialis mentri bikin gaduh atau mentti cipkon, jangan pancing Aceh untuk bergejolak, persoalan 4 pulau kini menjadi sorotan dunia dan UN juga menyikapi, kecuali Tito memang ingin Aceh lepas dari Indonesia.

Tito harus faham hal hal kesepakatan dan undang undang juga historis Aceh sebagai berikut :

Surat Kesepakatan antara Gubernur Sumatera Utara (Raja Inal Siregar) dan Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) tahun 1992*

terkait sengketa empat pulau di Singkil.

Berikut penjelasan lengkapnya:

Latar Belakang Kesepakatan 1992

Pada tahun 1990–1992, terjadi ketegangan antara Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh terkait klaim atas empat pulau di wilayah Singkil :

1. Pulau Panjang
2. Pulau Mangkir Gadang
3. Pulau Mangkir Ketek
4. Pulau Lipan

Konflik ini memicu ketidakstabilan di perbatasan, termasuk sengketa penangkapan ikan dan pengelolaan sumber daya laut.

Akhirnya, pada tahun 1992, dengan mediasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Rudini, kedua gubernur menyepakati resolusi batas wilayah.

Isi Pokok Kesepakatan 1992
Dokumen kesepakatan tersebut menegaskan:

1. Keempat pulau diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh.

2. Sumut tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di wilayah tersebut.

3. Pengelolaan sumber daya alam (perikanan, pariwisata, dll.) menjadi hak penuh Aceh.

4. Hanya kerja sama teknis (seperti konservasi laut lintas batas) yang boleh dibahas bersama.

Kesepakatan ini ditandatangani di Jakarta, disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini, dan dianggap sebagai final dan mengikat.

Status Hukum Kesepakatan ini

@ Diperkuat oleh UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 246 menyatakan batas wilayah Aceh mengacu pada peraturan sebelumnya).

@. Dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 01.P/HUM/2013 yang menolak gugatan Sumut.

@ Tercatat dalam arsip nasional Kementerian Dalam Negeri sebagai dokumen resmi penyelesaian sengketa.

Mengapa Sumut Kembali Mengklaim?
Meski ada kesepakatan 1992, pemerintah Sumut di era berikutnya (termasuk Bobby Nasution) mencoba mengabaikannya dengan alasan :

1. Potensi ekonomi besar (ikan, wisata, migas).

2. Dukungan pengusaha yang ingin berinvestasi di pulau-pulau tersebut.

3. Politik identitas untuk memperluas pengaruh Sumut.

Aceh konsisten menolak klaim baru ini, karena:
✅ Kesepakatan 1992 masih sah.
✅ UU Pemerintahan Aceh sudah jelas.
✅ MA telah memenangkan Aceh.

 

Kesimpulan

@ Kesepakatan 1992 adalah final dan masih berlaku hingga kini.
@ Aceh memiliki dasar hukum kuat (UU, putusan MA, dan dokumen historis).
@ Upaya Sumut mengklaim ulang adalah pelanggaran kesepakatan nasional.

Pesan Aceh:

“Kami menghormati sejarah, hukum, dan janji lama.
Sumut harus berhenti mengada-ada.”

Jika Sumut terus memaksa, kelihatannya Aceh siap membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional
sekalipun.

Kesepakatan ini tidak boleh dihapus dari sejarah!. (Red)