Skema “Jatah 25 Persen” di Tambang Timah Ilegal Tembelok Diduga Pungli Berkedok Solidaritas

Spread the love

Mentok, Advokatnews.com — AKTIVITAS tambang timah ilegal di perairan Tembelok, Kecamatan Mentok, Kabupaten Bangka Barat, kembali beroperasi secara terang-terangan. Dalam dua hari terakhir, laut yang sebelumnya sempat tenang kini dipenuhi ratusan ponton tambang tanpa izin, Minggu (14/9/2025).

Hingga kini, belum terlihat langkah nyata aparat penegak hukum untuk menghentikan aktivitas tersebut.

Informasi yang dihimpun menyebutkan, kegiatan ini dikabarkan dikendalikan oleh oknum yang dikenal sebagai tokoh berpengaruh di kawasan Tembelok. Dengan pengaruh sosialnya, oknum tersebut diduga memanfaatkan posisinya untuk melanggengkan aktivitas tambang ilegal melalui sistem setoran.

Beberapa sumber menuturkan adanya skema pembagian hasil tambang yang dinilai memberatkan penambang.
“Dalam pertemuan Kamis lalu sempat dibahas jatah 25 persen, Rp15.000 per kepala keluarga, sisanya kembali ke pihak tertentu. Banyak yang mempertanyakan keadilan pembagian ini,” ujar salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Skema “Jatah Kampung” Dinilai Bentuk Pungli

Model operasi tambang di laut Tembelok saat ini tidak terpusat dalam penjualan. Penambang bebas menjual hasil tambang ke kolektor mana pun. Namun, satu aturan mutlak tetap berlaku: setiap penambang wajib menyetorkan sebagian keuntungan sebagai “jatah kampung”.
Skema ini oleh sejumlah pihak disebut sebagai bentuk pungutan liar (pungli) berkedok solidaritas sosial.

Menurut sumber, skema ini juga menjadi alat kontrol bagi pihak tertentu untuk mempertahankan dominasinya.
“Kalau tidak setor, risikonya tinggi. Semua orang tahu aturan tak tertulis itu,” katanya.

Pelanggaran Hukum dan Ancaman Lingkungan

Aktivitas tambang ilegal di Tembelok jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. Pasal 158 menegaskan, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin resmi dapat dipidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar.
Selain itu, praktik jatah kampung berpotensi dikategorikan pungli sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto UU Nomor 20 Tahun 2001, karena memanfaatkan jabatan atau pengaruh untuk keuntungan pribadi maupun kelompok.

Selain masalah hukum, dampak lingkungan juga menjadi perhatian. Aktivitas tambang tanpa kajian lingkungan berpotensi merusak ekosistem laut, habitat ikan, dan mengancam mata pencaharian nelayan tradisional.

Diamnya Aparat dan Hilangnya Wibawa Negara

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum terhadap aktivitas tambang ilegal di Tembelok.
Padahal, aktivitas ini berlangsung terang-terangan dan diketahui publik. Diamnya aparat menimbulkan kesan pembiaran dan menurunkan wibawa negara.

Para pemerhati lingkungan dan hukum berharap aparat segera melakukan penindakan tegas agar praktik ilegal ini tidak terus berlanjut dan tidak menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Penegakan hukum yang cepat dan menyeluruh diyakini menjadi solusi untuk menghentikan kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis yang lebih luas.(Sumber: KBO Babel)