KOBA, ADVOKATNEWS.COM – SETELAH sempat menjadi polemik di tengah masyarakat, terdakwa kasus asusila, Sodikin Bin Sarkawi Mafa, akhirnya resmi ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Tuatunu pada Senin (26/5/2025). Penahanan ini dilakukan setelah putusan Pengadilan Negeri Kelas II Koba berkekuatan hukum tetap (BHT).
Kasus Sodikin sebelumnya menuai sorotan tajam dari publik karena meskipun dinyatakan bersalah atas tindakan asusila yang merendahkan martabat korban, ia tidak langsung ditahan usai vonis dibacakan pada Kamis (15/5/2025). Keputusan ini dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat dan korban.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Derit Werdiningsih, SH, MH, menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp5 juta kepada terdakwa. Apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan. Selain itu, Sodikin juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban sebesar Rp12.194.000,- sebagai bentuk tanggung jawab atas penderitaan yang ditimbulkan.
Dalam amar putusan, sejumlah barang bukti seperti pakaian milik korban dan terdakwa, sepeda motor, serta handphone dikembalikan kepada pemiliknya. Sedangkan rekaman CCTV yang tersimpan dalam sebuah flashdisk dimusnahkan. Terdakwa juga dibebankan membayar biaya perkara sebesar Rp5.000,-.
Kendati hukuman telah dijatuhkan, publik mempertanyakan mengapa eksekusi penahanan tidak dilakukan segera setelah putusan. Banyak kalangan, termasuk aktivis perlindungan perempuan dan anak, menganggap langkah tersebut sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap penderitaan korban.
Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Hakim Derit Werdiningsih menegaskan bahwa proses hukum telah dijalankan sesuai aturan. “Penahanan baru bisa dilakukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, jaksa yang berwenang melakukan eksekusi,” jelasnya.
Namun, penjelasan tersebut tidak serta-merta meredam kritik. Sebagian masyarakat menilai bahwa vonis 1,5 tahun untuk kasus asusila belum mencerminkan keadilan yang berpihak pada korban, apalagi mengingat dampak psikologis yang harus ditanggung korban dalam jangka panjang.
Kasus Sodikin membuka kembali diskusi publik soal perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dan bagaimana hukum sering kali dianggap lebih lunak terhadap pelaku. Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat mendorong keadilan berbasis keberpihakan terhadap korban, kasus ini justru menunjukkan bahwa masih ada celah dalam implementasi hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi peradilan.
Kini, setelah resmi dijebloskan ke Lapas Tuatunu, publik berharap eksekusi tersebut menjadi langkah awal untuk memperbaiki citra penegakan hukum. Lebih dari itu, kasus ini diharapkan menjadi pelajaran penting agar aparat penegak hukum lebih sensitif dalam menangani perkara serupa di masa depan.
Sementara itu, pihak keluarga korban berharap proses hukum ini menjadi titik akhir dari penderitaan yang dialami, meskipun luka psikologis tidak akan mudah disembuhkan hanya dengan putusan pidana. Mereka juga berharap pemerintah dan lembaga sosial turut hadir memberikan pendampingan dan pemulihan psikologis bagi korban.
Sumber: (KBO Babel)