Oleh: AHMADI SOFYAN
SAYA lebih intens dalam bidang menanam bukan menambang. Makanya orang-orang disekitar saya adalah orang-orang yang memahami pertanian bukan pertambangan.
(Dr. Safrizal, Pj. Gubernur Kep. Bangka Belitung)
====
KEPULAUAN Bangka Belitung memang bumi tambang, hampir semua isi perut bumi baik di darat maupun di laut se-antero Bangka Belitung berisikan timah serta mineral ikutannya. Bahkan ada kalimat yang menyatakan: “Bangka Belitung itu bukan Pulau Timah, tapi Timah yang menjadi Pulau”. Sebab kekayaan alam berupa timah adalah rahmat Tuhan kepada Indonesia, terkhusus masyarakat Kepulauan Bangka Belitung.
Uniknya, walau ditanah tambang, namun kesuburan lahan di Bangka Belitung ini memiliki karakter tersendiri. Lada putih yang dikenal dunia dengan sebutan “Muntok White Papper” memiliki tingkat kepedasan paling tinggi di dunia. Pun tanaman Cabe yang ditanam di tanah Bangka Belitung itu tingkatannya jauh lebih pedas ketimbang di tanah luar Bangka Belitung. Dalam hal ini, saya sering bercanda: “Lada & cabe saja kalau sudah di tanam di Bangka Belitung lebih pedas, apalagi mulutnya orang Bangka Belitung”.
Belum selesai! Bagi para penggemar durian, pasti Durian dari Bangka Belitung tidak akan absen diperbincangkan. Durian dengan cita rasa yang paling enak se-dunia, begitu komentar banyak penggemar durian. Dahlan Iskan (Mantan Menteri BUMN) bahkan pernah menuliskan hal ini di media cetak & online. Kita mengenal begitu banyak jenis durian disini, seperti Cumasi, Super Tembaga, Kalamunot, Durian Daun, dan lain sebagainya. Semua jenis itu adalah durian yang bercita rasa super enak, tekstur yang berbeda, rasanya pun berbeda, tapi semuanya satu kalimat: “sangat enak”.
Jika pertanian dan perkebunan masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung ini dapat dikelola secara smart, kreatif dan menjadi lahan produktif, maka pasokan kebutuhan masyarakat disini dapat ditekan sekian persen. Selama ini, beras saja kita baru bisa menyediakan 20 persen, sedangkan 80 persen dari luar Bangka Belitung. Cabe dan Bawang bagaimana? Hampir 100 persen dari luar Bangka Belitung. Belum lagi telur! Padahal berapa banyak kebutuhan telur bagi masyarakat Bangka Belitung. Sebab disini, bukan hanya untuk kebutuhan lauk pauk, tapi kue, pempek, martabak dan lain sebagainya menggunakan telur. Semua itu 80 persen harus dipasok dari luar daerah. Belum lagi daging, janganlah ditanya sebab bikin gregetan. Padahal soal lebaran, sedekah kampung, hari raya dan kenduri, masyarakag Bangka Belitung juaranya. Sayangnya, pasokan kebutuhan mendasar itu harus dari luar daerah.
Semangat menanam yang selalu diungkapkan dan dilaksanakan oleh Dr. Safrizal, ZA. selaku Pj Gubernur Kep. Bangka Belitung harusnya disambut oleh semua elemen. TNI, POLRI, BUMN, BUMD, Pengusaha, Pemda & Pemkot, terlebih jajaran di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Begitu banyak lahan-lahan disekitar kita yang terbengkalai, bahkan lahan yang dimiliki oleh Pemprov, Pemda & Pemkot, terutama lahan-lahan milik PT. Timah Tbk.
Nugal, Kearifan Lokal Bertanam Padi
JIKA saja semangat Dr. Safrizal, ZA., ini diiringi aksi kompak semua elemen, saya yakin persoalan kebutuhan mendasar masyarakat Kepulauan Bangka Belitung dapat teratasi. Terlebih harga beras yang kian tinggi ini. Kebiasaan masyarakat Bangka Belitung dalam menanam padi dilahan kering atau disebut “behuma” atau “behume” sebetulnya sangat bisa digalakkan. Nilai kearifan lokal dalam “behume” ini sangat luar biasa. Dulu, saya turut merasakan kebahagiaan beriring keceriaan kala melihat kekompakan orangtua dan masyarakat dalam “behume”. Dari mulai membersihkan lahan, hingga “nugal” (menanam butiran padi secara kompak). Kerjasama dalam “Nugal” ini sangat tampak sekali. Umumnya kaum laki-lali didepan dengan 2 galah ditangan berdiri didepan sambil menghujam tipis-tipis galah ke tanah untuk membuat lobang. Lalu kaum perempuan jalan sambil berjongkok mengisi butiran padi ke dalam lobang tersebut. Kekompakan yang asyik dilihat & dirasakan. Siangnya pasti makan bersama dengan gelak tawa serta cerita-cerita “ngerahul” jadi semakin indah suasana alam. Sayangnya, nilai kearifan lokal yang kini hanya menari dalam balutan kerinduan tak bertepi.
Menanam, Menambang, Bisakah Sejalan?”
MASYARAKAT asli Pulau Bangka & Belitung sesungguhnya adalah masyarakat petani, peladang (berkebun ber-ladang). Sebab sejak ratusan tahun silam, pelaku penambang adalah masyarakat luar. Konon sejak abad ke-17, VOC di zaman Belanda harus mengambil warga Tiongkok untuk menambang, sebab masyarakat asli Bangka Belitung lebih mandiri dan percaya diri dengan bertani. Kepercayaan diri itu pupus, sebab semakin marak tambang inkonvensional yang dilakukan oleh masyarakat pendatang dari luar Bangka Belitung. Berpikirlah akhirnya masyarakat Bangka Belitung, “Daripada orang luar, kite juga pacak”. Maraklah anak-anak muda, ibu-ibu bahkan warga petani beralih profesi menjadi penambang.
Terlebih, hasil dari menambang lebih cepat dan besar didapatkan. Tak heran ketika disebut “Boss Timah” minimal mobil double gardan yang dipakai dalam kesehariannya plus tas kempet serta HP keluaran terbaru minimal 2 buah. Saat perayaan Imlek beberapa minggu lalu, saat duduk bareng Pj. Gubernur Kep. Bangka Belitung, Dr. Safrizal dan Dato’ Sri H. Ramli Sutanegara, saya ditanya: “Ananda, apa bedanya kaya dari nambang timah dan kaya dari hasil perkebunan?”. Mendapati pertanyaan dari Dato’ Sri H. Ramli Sutanegara ini saya spontan menjawab: “Kalau kaya dari nambang timah, lebih cepat tapi tak bertahan lama sehingga tak membahagiakan jiwa. Kalau kaya dari pertanian atau perkebunan itu agak lama, tapi rutin dan yang pasti sangat membahagiakan jiwa”. Mendengar jawaban spontan saya itu, beliau tertawa, tidak mengiyakan atau membantah.
Memang, peroalehan yang besar dan cepat dari menambang ternyata mudah membuat silau masyarakat kita yang akhirnya beralih profesi. Akhirnya, ketika persoalan timah seperti sekarang ini terjadi, riuh masyarakat penuh kekhawatiran tak dihindari. Padahal, aslinya, masyarakat asli Bangka Belitung tak pernah hirau atau riuh dengan persoalan timah, sebab masyarakat asli lebih cenderung bertani (berladang) mengolah lahan, bukan tambang. Namun seiring perjalanan waktu, perubahan kebijakan dan payung hukum semarawut, ternyata merubah karakter masyarakat asli Bangka Belitung.
Tanam dan Tambang, menanam dan menambang sangat mungkin berjalan beriringan, jika tata kelola lahan bisa jelas. Pastinya kecerdasan dan ketegasan Pemerintah melalui payung hukum yang jelas harus dilaksanakan. Timah adalah anugerah bagi masyarakat Bangka Belitung, tapi anugerah ini diiringi keserakahan, akan menjadi musibah. Tanah yang subur adalah anugerah, tapi tanpa dikelola dengan baik, tanah subur hanya bikin kita kufur akan nikmat Allah SWT.
Program SEMARAK (Semangat Menanam Rakyat) Bangka Belitung harus tercapai dan didukung semua elemen. Sebab, percayalah bahwa tanpa kebiasaan menanam, tak akan ada kehidupan yang menumbuhkan kecerdasan manusia. Sedangkan menambang, memang mendapatkan kehidupan tapi juga merusak masa depan jika tanpa pengelolaan kembali lahan (reklamasi) yang membutuhkan masa dan biaya besar.
Mari kita kembali kepada ruh asli, bahwa bertani, berkebun, behume, adalah karakter kita masyarakat Bangka Belitung. Sungai terjaga, alam menjadi asri tuk dinikmati. Saya punya mimpi, nilai kearifan lokal yang hanya menari dalam balutan kerinduan tak bertepi, dapat digapai dalam balutan cinta pada negeri. Apalagi kalau bukan dengan menanam, menata dan menjaga sungai yang bersih dan mengalir.
Salam Cinta!
(Kebun Tepi Sungai, 21/02/2024)
=====
*Ahmadi Sofyan,* akrab disapa Atok Kulop adalah asli anak petani. Masa kecilnya di kebun bersama orangtua. Ia banyak menulis buku dan lebih dari 1.000-an Opininya dimuat di media cetak & online. Sejak 1 tahun terakhir ini, ia tinggal di kebun tepi sungai di Desa Kemuja.