Advokatnews || Bekasi – Pernikahan menjadi momen penting yang tidak terlupakan bagi sebagian besar orang. Karena itu, banyak orang yang merayakan pernikahannya tersebut untuk menunjukkan status baru mereka sebagai pasangan suami istri.
Di Indonesia pernikahan yang resmi dan sah adalah apabila diakui oleh negara dan agama. Namun, ada beberapa orang yang hanya melakukan pernikahan di bawah tangan atau biasa dikenal dengan istilah nikah siri.
Perihal pernikahan siri, ketua DPC Kongres Advokat Indonesia (KAI) Kabupaten Bekasi ADV. SUTRISNO, S.H.,MH.,CIL, dari Kantor Hukum LAW FIRM TRI’S & PARTNERS menjelaskan bahwa pernikahan siri merupakan suatu pernikahan yang sah secara agama namun tidak sah di mata hukum.
“Mengutip buku Nikah Siri apa untungnya? oleh Happy Susanto (2007 : 22), kata siri dalam istilah nikah siri berasal dari bahasa Arab, yaitu “sirrun” yang artinya “rahasia”. Sehingga nikah siri bisa diartikan sebagai bentuk pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum agama, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak serta tidak tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Kantor Catatan Sipil, Dengan kata lain, nikah siri adalah pernikahan yang sah secara agama, tetapi tidak sah di mata hukum,” kata ADV. Sutrisno, SH.,MH.,CIL.,(23/9/2021).
“Di kalangan ulama sendiri, hukum mengenai nikah siri masih menuai pro dan kontra. Sebagian berpendapat bahwa nikah siri tidak dilarang dan boleh saja dilakukan asal dengan maksud tertentu serta mematuhi syarat dan rukun menikah dalam Islam. Ada pula yang memandang bahwa nikah siri itu dilarang karena mudharat-nya lebih banyak,” paparnya.
Di Indonesia, hukum pernikahan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.16 Tahun 2019 Perubahan Tentang UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 sebagai berikut.
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan undang-undang tersebut, lanjut Sutrisno, meskipun telah sah di mata agama, setiap perkawinan tetap harus tercatat secara negara. Artinya, nikah siri dianggap tidak sah di mata hukum Indonesia karena tidak adanya akta nikah serta surat-surat resmi terkait legalitas pernikahan tersebut.
“Dampak negatif nikah siri di samping melanggar hukum pernikahan di Indonesia, menikah secara siri juga memiliki banyak dampak negatif, khususnya bagi kaum perempuan,” ujarnya.
Mengutip jurnal perkawinan di bawah tangan (Kawin Siri) dan akibat hukumnya oleh Irfan Islami, berikut sejumlah dampak negatif nikah siri:
1.Pihak perempuan tidak bisa menuntut hak-haknya sebagai istri yang telah dilanggar oleh suami karena tidak adanya kekuatan hukum yang tetap terhadap legalitas perkawinan tersebut.
2. Kepentingan terkait pembuatan KTP, KK, paspor, serta akta kelahiran anak tidak dapat dilayani karena tidak adanya bukti pernikahan berupa akta nikah/buku nikah.
3. Nikah siri cenderung membuat salah satu pasangan, khususnya suami lebih leluasa untuk meninggalkan kewajibannya.
4. Banyaknya perlakuan kekerasan terhadap istri.
5. Dapat memengaruhi psikologis istri dan anak.
Itulah hukum nikah siri di Indonesia serta beberapa dampak negatifnya.
“Jadi bagaimana nikah siri supaya pernikahannya bisa di akui oleh negara?, maka yang dilakukan adalah dengan melakukan Itsbat Nikah untuk yang beragama Islam yang di mohonkan di Pengadilan Agama dan Permohonan Pengesahan Kawin bagi non muslim yang dimohonkan di Pengadilan Negeri,” jelas bang Tris sapaan akrabnya.
(*Je)