Advokatnews, Jakarta 11 Mei 2020 – Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sebagai salah satu Unit Utama (setingkat Eselon I) di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI mengemban tugas penting melakukan peningkatan kesadaran hukum di masyarakat melalui kegiatan penyuluhan hukum. Peran penyebarluasan informasi dan pemahamam terhadap norma hukum dilakukan oleh Jabatan Fungsional (JF) Penyuluh Hukum dengan tujuan untuk menciptakan budaya hukum yang tertib dan taat atau patuh pada norma hukum demi tegaknya supermasi hukum.
Kepala BPHN Prof R. Benny Riyanto mengatakan, BPHN selaku instansi pembina JF Penyuluh Hukum, BPHN memiliki tanggung jawab melakukan penyusunan regulasi di bidang penyuluhan hukum, pengembangan kompetensi, dan pembinaan JF Penyuluh Hukum. Sebagai bagian dari pembinaan tersebut, BPHN menyusun buku “Panduan Penyusunan Hasil Kegiatan Penyuluhan Hukum”, yakni suatu buku pedoman JF Penyuluh Hukum dalam mendokumentasikan kegiatan penyuluhan yang telah dilakukan untuk keperluan penilaian angka kredit sehingga terdapat keseragaman dari segi kualitas serta memudahkan tata laksana pendokumentasian.
“Masih ditemukan JF Penyuluh Hukum yang belum memahami dan menguasai aturan di dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Hukum dan Angka Kreditnya, serta peraturan di bidang penyuluhan hukum lainnya,” kata Kepala BPHN, dalam acara online briefing dan launching buku Panduan Penyusunan Hasil Kegiatan Penyuluhan Hukum, Senin (11/5) melalui sambungan telekonferensi yang diikuti para Penyuluh Hukum se-Indonesia.
Berdasarkan hasil evaluasi, BPHN menemukan beberapa hal yang perlu dilakukan perbaikan diantaranya adanya ketidaksesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan tugas sehingga terjadi tumpang tindih pekerjaan, pelaksanaan pekerjaan tanpa berkoordinasi dengan pimpinan, serta penyusunan laporan kegiatan yang sebatas mengejar syarat pemenuhan angka kredit. Sebagai contoh, ditemukan kegiatan penyuluhan hukum yang seharusnya diperuntukkan bagi JF Penyuluh Hukum Pertama tetapi dilaksanakan oleh JF Penyuluh Hukum Madya. Padahal JF Penyuluh Hukum Madya tidak lagi melaksanakan kegiatan ‘lapangan’ melainkan lebih kepada kajian kebijakan maupun konsep pengembangan hukum.
“Mari sama-sama berangkat pada aturan yang benar. Tidak lagi sekedar mencari angka kredit, tetapi apa yang bisa kita perbuat untuk negara, apa yang bisa kita berikan untuk pemerintah, apa yang bisa kita tunjukan ke masyarakat. Tunjukkan prestasi, berani berkata benar dan hati-hati dalam bertindak. Saat ini, ada kecenderungan masyarakat mudah terprovokasi. JF Penyuluh Hukum berani harus tampil di depan, meluruskan dan sampaikan informasi yang benar. Terwujudnya kesadaran hukum masyarakat akan menciptakan budaya hukum. Tolok ukurnya masyarakat menjadi tertib, taat dan patuh terhadap hukum,” terang Kepala BPHN.
Pembagian Wilayah Kerja Penilaian Angka Kredit BPHN saat ini telah melakukan pembinaan terhadap 451 JF Penyuluh Hukum dari hasil inpassing sebanyak empat kali. Jumlah tersebut belum ditambahkan dari hasil inpassing tahun 2019 dan penyetaraan tahun ini dengan jenjang pangkat mulai dari Penyuluh Hukum Ahli Pertama hingga Penyuluh Hukum Ahli Madya. BPHN juga berencana membuka untuk jenjang Penyuluh Hukum Ahli Utama namun masih menunggu beberapa ketentuan. Melihat jumlah JF Penyuluh Hukum yang mengalami peningkatan dari segi tren, diperlukan upaya strategis untuk memastikan kualitas JF Penyuluh Hukum, yakni dengan pembagian wilayah kerja penilaian angka kredit.
“Kedepan penilaian angka kredit terbagi menjadi enam wilayah kerja yang selanjutnya menjadi Tim Pembina Wilayah Kerja dalam rangka pelaksanaan pembinaan secara berkesinambungan sehingga tujuan mewujudkan penyuluh hukum yang profesional dan berkualitas dapat terlaksana dengan baik,” kata Kepala BPHN.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum BPHN, Kartiko Nurintias mengatakan, dibentuknya wilayah kerja akan memudahkan koordinasi bagi JF Penyuluh Hukum yang mengajukan penilaian angka kredit. Selain itu, pembagian wilayah kerja ini, diharapkan akan menciptakan perencanaan yang matang terhadap pembinaan JF Penyuluh Hukum baik di pusat ataupun di daerah. Di samping itu, tim penilai ini bekerja selama satu periode, yakni tiga tahun dan tidak seperti sebelumnya yang mana setiap tahun berganti formasi.
“Saya mengharapkan Tim Penilai Angka Kredit solid, berkualitas dan punya kompetensi handal. Tim Penilai harus profesional, menjadi contoh dan integritasnya dipertaruhkan,” kata Kartiko.
Dalam waktu dekat, BPHN berharap kebijakan pembagian enam wilayah kerja ini dapat dieksekusi. Adapun Wilayah Kerja I (Aceh, Sumut, Kepri, Sumbar, Bangka Belitung), Wilayah Kerja II (Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, DKI Jakarta, Jabar), Wilayah Kerja III (Jateng, DIY, Jatim, Bali, Kalbar, Kalsel), Wilayah Kerja IV (Kalteng, Kaltim, Sulut, Gorontalo, Sulteng, Sulbar, Sulteng), Wilayah Kerja V (Sulsel, NTT, NTB, Maluku Utara, Maluku, Papua, Papua Barat), dan Wilayah Kerja VI (Unit Eselon I Kementerian Hukum dan HAM, Badan Pusat Statistik (BPS) dan K/L lain di luar Kementerian Hukum dan HAM).
“Pembagian wilayah kerja menjadi pintu masuk pola pembinaan yang berkesinambungan, sehingga pimpinan baik di pusat maupun di daerah bisa memonitor kegiatan yang dilaksanakan oleh JF Penyuluh Hukum,” (***Red)