Oleh : AHMADI SOFYAN
PEMUNGUTAN suara pagi ini sedang berlangsung, denyut jantung para Caleg kian berpacu dalam debar, apalagi beberapa jam lagi mulai penghitungan suara, kalau istilah kita urang kampoeng, “kededep: alias “gep-gep ser…..
===
PAGI ini, ba’da Subuh, bersama butiran embun pagi & secangkir kopi, di Pondok Kebun tepi sungai di tengah belantara nun jauh dari hiruk pikuk kota, saya mencoba kembali merangkai kata sebelum menuju TPS (Tempat Pemungutan Suara) di kampung kelahiran saya, Desa Kemuja.
Jauh-jauh hari, isteri dan beberapa keluarga besar bahkan melalui WA dan IG orang-orang sudah bertanya: “Kita milih siapa?” dan saya pun menyatakan pilihan saya dari DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI, terlebih Capres/Cawapres yang saya tekankan paling penting untuk keberlangsungan Indonesia kedepan. Alhamdulillah tak dibantah, tapi kedaulatan (kemerdekaan) pilihan tetap diutamakan, apalagi di TPS tak ada CCTV. Sedangkan yang menghubungi saya via medos atau WA berlainan dapil pun (termasuk diluar Babel), ternyata tak sedikit. Parahnya tadi malam, masih ada yang WA menanyakan saya nyalon DPR RI apa nggak, dari partai apa dan nomor berapa? “Kami & keluarga nek milih Bang Ahmadi”. Saya pun mengucapkan banyak terima kasih atas keinginan tersebut dan mengatakan tidak nyalon. Selanjutnya sang pengirim WA menanyakan arahan pilihan kemana untuk DPR RI, DPD RI & Capres/Cawapres. Yang paling banyak menanyakan seperti ini ke saya adalah kaum Ibu-Ibu.
Setiap Pemilu berlangsung, saya selalu menentukan pilihan sejak awal, dan saat hendak berangkat ke TPS seperti sekarang (saat sedang menulis ini) saya memantapkannya. Pastinya setiap mencoblos, sebagai muslim saya awali dengan “basmallah” (sebab kalau diawali Surrah Yaasiin, pasti diusir Hansip atau KKPS). Dalam pemahaman saya, memilih (mencoblos) adalah perbuatan baik yang harus diawali dengan kalimat baik, “basmallah”, agar mendapatkan lapisan keberkahan. Bukan perkara yang kita pilih itu menang atau kalah, tapi keyakinan kita bahwa itulah yang terbaik untuk daerah atau bangsa.
Lebih dari itu, saya yakin pertanggungjawaban terhadap pilihan itu pasti ada nantinya. Selesai memilih, saya pasti segera pulang, tidak pernah berlama-lama di TPS dan tidak pernah memantau langsung penghitungan suara. Cukup mengikuti perkembangan dari laporan kawan-kawan atau saya meminta kabar penghitungannya. Begitulah irama saya selama Pemilu, sejak saya pertama kali memilih atau ikut Pemilu (07 Juni 1999) di Kediri Jawa Timur.
Pemilu & Kedewasaan Berpolitik
PESTA itu harus menyenangkan dan membahagiakan, saling menyapa, merangkul, senyum, lempar canda, tanya kabar, salam hangat, sebagaimana umumnya yang disebut pesta. Namun, karena pesta ini berbeda dengan pesta pada umumnya, berlangsung 5 tahun sekali dan ada yang menang, sangat banyak yang kalah. Sebab pestanya adalah pesta kompetisi dalam bungkus demokrasi untuk meraih kursi (kekuasaan). Kursi yang penuh fasilitas negara dan digaji lumayan tinggi selama 5 tahun plus tetek bengek yang dibuat melebihi gaji yang didapat. Pejabatnya dapat “tetek”, rakyatnya dapat “bengek”. Sebab disaat Pesta (Pemilu) rakyat sudah membuat para Caleg menjadi “bengek” akibat banyak modal yang harus dikeluarkan, banyak proposal yang harus diloloskan, banyak buah tangan yang harus diberikan dan banyak permintaan yang harus dipenuhi.
Oleh karenanya, dalam Pemilu ini tidak hanya sskedar memilih atau mencoblos, namun dibutuhkan kedewasaan rakyat dan peserta pemilu (Caleg, Capres/Cawapres) dalam berdemokrasi, terlebih lagi para Timses yang kadangkala lebih “garang” dari Caleg atau Capres/Cawapesnya. Partai Politik sebagai wadah demokrasi kadangkala pada kenyataannya bersikap sangat-sangat tidak demokratis. Kedewasaan dalam demokrasi saat Pemilu inilah yang masih perlu digali konsep dan tehniknya oleh pemerintah, terutama para penyelenggara Pemilu. Sebab jika tidak ada kedewasaan dalam berpolitik & berdemokrasi, jangan heran Pemilu menjadi ajang bongkar aib, arena fitnah, wadah mencaci maki & hujat, serta saling lapor sana sini.
Kedewasaan kita dalam berkompetisi masih seperti pertandingan sepakbola Tarkam (antar kampung), tehnik permainan gak memuaskan, tapi perkelahian sudah dipersiapkan, bahkan wasit dikejar ditengah lapang, penonton mengejar pemain, aparat ikut tawuran sedangkan panitia kelabakan & sibuk berhalo-halo ria dengan mikropon tua yang baterainya hampir habis. Akhirnya lapangan menjadi riuh, kontradiktif dengan tema di spanduk & baliho yang berbunyi: “Sportif dalam Bertanding”. Ternyata, kedewasaan kita dalam demokrasi masih tingkat kanak-kanak, tapi mengaku sarjana.
Kelapangan Jiwa Peserta Pemilu
5 TAHUN sekali, masa dimana banyak masyarakat Indonesia berpacu jantung alias “kededep” atau “gep gep ser…” terutama para Caleg & Timses-nya. Pun demikian, para Capres/Cawapres, pengurus & kader Partai, Timses & Bohirnya (para pemodal). Apalagi para Calon Menteri yang sudah dijanjikan oleh Capres/Cawapres dan Ketum partai politik yang menjanjikan. Pasti lebih “kededep” & “gep gep ser…”.
Kelapangan jiwa dan kematangan mental menjadi hal yang sangat penting bagi para Caleg untuk dipersiapkan, bahkan jauh sebelum pencalegan ditetapkan. Dalam kompetisi pasti ada kalah ada menang. Nasib dan takdir sudah ditentukan, bahkan niat dan usaha tak akan mengkhianati hasil. Kalau modal finansial, itu nampaknya sudah pasti. Bisa jadi usaha kita susah maksimal, tapi minim modal. Atau bisa jadi modal dan usaha sudah maksimal, tapi niat masih kurang bagus atau niat sudah sangat baik, namun kendala dan rintangan tak bisa dihindarkan, sehingga takdir lain bertolak belakang dari harapan. Itulah kehidupan, kita manusia wajib berusaha, tapi tidak wajib berhasil, sebab penentuan berhasil adalah hak mutlak Allah SWT.
Kelapangan jiwa dan kekuatan mental menerima apapun hasil dari usaha yang sudah dilakukan menjadi penting bagi para Caleg. Makanya seringkali saya ungkapkan baik melalui tulisan maupun lisan, bahwa partai politik bertanggungjawab dalam menjaga mental dan jiwa para Caleg. Partai Politik harusnya tak melulu memberikan pembekalan strategi politik atau strategi pemenangan, tapi pencerahan jiwa dan mental pasca Pemilihan sangatlah penting. Sebab kita tak ingin Caleg yang gagal meraih impian sebab modal besar sudah dikeluarkan itu “ngiret kaleng”, apalagi sampai bunuh diri atau menjadi pasien RSJ (Rumah Sakit Jiwa), terlebih tewas mendadak karena serangan jantung akibat modal habis untuk serangan fajar.
Pemilu 2024, semoga Caleg & Capres/Cawapres plus para timses dan pemodal, tetap sehat jasmani sehat rohani, kecuali memang tidak sehat sebelumnya….
Salam Gep Gep Ser!!
(Kebun Tepi Sungai, 14/02/2024)
=====
AHMADI SOFYAN, akrab disapa Atok Kulop. Tidak ikut “gep-gep ser” apalagi “Kededep” karena bukan Caleg apalagi Timses. Ia banyak menghabiskan waktunya di Kebun Tepi Sungai nan jauh dari hiruk pikuk kota. 80-an buku telah ia terbitkan & 1.000-an opininya telah dimuat diberbagai media cetak & online.