Oleh: AHMADI SOFYAN
Demokrasi kita masih berkutat soal kursi, tapi minim prestasi.
====
KECERDASAN berbalut kreativitas manusia tidak diukur dari apa yang ia miliki, tapi bagaimana ia mengolah dan mengelola apa yang dimiliki. Begitulah pemahaman saya tentang kecerdasan berbalut kreativitas (cerdas & kreatif). Sebagaimana sering saya ungkapkan kala mengisi materi dihadapan generasi muda: “Untuk sukses itu, bukan seberapa besar & seberapa banyak bakat yang kamu miliki, tapi seberapa cerdas & kreatif kamu mengolah & mengelola bakat (kelebihan) dalam dirimu itu”. Ini baru perkara “sukses” belum pada tingkatan “bernilai”. Sebab sukses dan bernilai itu sangat berbeda.
Banyak kita saksikan kala reuni, kawan yang dulunya nakal, bikin gaduh, hobi berulah, sering dihukum guru, nilai anjlok, tapi kala dewasa, dialah yang sukses dibandingkan dengan sang juara kelas dan para murid kesayangan Guru. Ayo… deh jujur! pasti kala reuni hal seperti ini paling sering kita saksikan. “Dak nyangka aok, die waktu sekolah duluk e cem tu, kinek e sukses”. Juga kita saksikan betapa “bintang sekolah” yang jadi rebutan semua siswa bahkan ditaksiri guru, ternyata pas reuni kita saksikan suaminya gak seberapa, baik sisi wajah maupun keadaan ekonominya. Begitulah jodoh….. jadi jangan kagetan & ojo dumeh.
Dalam perilaku sosial, seringkali kita saksikan, bahkan diri kita sendiri, berkaitan dengan kekagetan dalam kehidupan. Iseng, saya mencatat setidaknya ada 3 jenis kaget yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Setiap periode, setiap pristiwa, selalu jenis-jenis manusia kagetan ini ada ditengah masyarakat.
(1) Kaget Sosial
Kaget sosial sering terjadi pada generasi muda yang baru melek. Bersikap bagaikan katak dalam tempurung. Misalnya, selama ini hidup di pelosok, lantas berkesempatan hidup di kota. Lantas ketika pulang kampung, gaya dan lagaknya sudah berubah total. Lucunya, bahasa dan logatnya sudah gaya kota. Contoh lain, kaget sosial menimpa seseorang yang misalnya tiba-tiba terkenal atau viral, lantas berubah gaya pertemanan, hubungan kemasyarakatan dan bahkan gaya hidup. Ini sangat banyak terjadi di era media sosial.
Pun demikian terjadi pada perempuan kampung yang didekati atau dinikahi oleh orang kota yang tampak perlente, seringkali kaget sosial ini terjadi pada gaya, perilaku dan komunikasi sosialnya ditengah masyarakat dimana ia tinggal.
(2) Kaget Struktural
Perilaku kaget struktural ini sering terjadi di dunia kerja. Awalnya bukan siapa-siapa, tiba-tiba mendapat promosi jabatan. Gaya kepemimpinan pun main perintah, main tunjuk dan semua minta dilayani. Kaget struktural di pasca Pemilu ini sangat banyak terjadi. Umumnya Caleg yang baru nyalon dan terpilih, apalagi usia masih muda, seringkali mengalami penyakit kaget struktural. Parahnya, tak sedikit keluarga yang sebenarnya biasa-biasa saja menjadi menular penyakit kaget struktural. Padahal para keluarga ini sesungguhnya berstatus sama dengan warga biasa. Tapi karena kaget struktural, menjadi bertingkah sosial luar biasa, merasa warga kelas atas.
(3) Kaget Spiritual
Ini seringkali saya alami langsung ditengah-tengah majelis ta’lim atau pengajian. Apalagi kelompok-kelompok baru hijrah. Dari yang awalnya tidak mengenal agama, tidak pernah “nyantri” di Pesantren, tidak hanya busana yang tiba-tiba berubah drastis, tapi gaya bicara pun sudah “ana” “antum” “harim” “qohwah” “qobul” dan lain sebagainya. Saya yang bergaya selenge’an seringkali diceramahin dan dinasehatin kelompok-kelompok seperti ini. Biasanya saya tanya: “Berapa tahun nyantri di Pesantren, Bro?” Pastinya mereka jawab: “Belum pernah”. Saya langsung unjuk kesombongan dengan berkata: “Saya 12 tahun belajar dan hidup di Pesantren”. Selanjutnya saya sebutkan Pesantren dan suruh cek sendiri apakah saya hanya nyantri atau pernah ngajar?. Setelah mendengar seperti itu, umumnya mereka bungkam. Tapi ada pula yang masih menasehati: “Antum harusnya begini begitu……”. Setelah beginian akhirnya target ceramah ala saya keluar sampai api “hijrah-hijrahan” mereka padam. Hijrah itu baik dan bagus banget, bahkan harus seperti itu. Tapi jangan langsung tampak seakan-akan alim dan paling dekat dengan Tuhan. Sebab Tuhan itu Maha Asyik dengan hamba-hamba-Nya. Pusing lah mereka kalau ceramah saya bercampur budaya sedikit sejarah dikeluarkan. Gak salah akhirnya saya sebutkan diri saya sendiri “Jarkoni” (Pinter ngajarin ora iso ngelakoni). Nah lho….?!
Pemilu & Manusia-Manusia Kagetan
PEMILU 2024 sudah selesai, rekap penghitungan suara sedang berlangsung. Para Caleg yang terpilih sudah nampak terlihat, hanya menunggu pengumuman saja dari KPU.
Demokrasi kita seringkali saya ungkapkan hanya berebut mendapatkan kursi, tapi minim prestasi. Maka tak heran banyak sekali orang–orang yang terpilih hanya modal berani. Kalau uang sudahlah pasti. Kapasitas, integritas, pemahaman tentang legeslatif, pemerintahan dan bahkan sidang, mayoritas tak dimengerti. Jadi jangan heran yang duduk nanti adalah orang-orang yang sedang belajar jadi Dewan. Berapa banyak Anggota Dewan kita bermodalkan Paket C? Kayaknya para akademisi perlu melakukan penelitian.
Jadi tak heran, perilaku kaget sosial ini bukan hanya menimpa mereka yang duduk di Dewan, tapi juga menular kepada rakyat. Sebab rakyat sendiri kaget kok orang seperti itu bisa jadi Anggota Dewan. Berapa banyak ketika mereka duduk, bukannya nyelesaian masalah, malah dirinya menjadi masalah. Lalu rakyat berucap: “Orang yang kayak begitu kok bisa jadi Anggota Dewan?. Lho, yang milih siapa? Yang dapat duit dari mereka saat nyaleg dulu siapa? Kaget kan??
Sama!! saya juga kaget karena baru sadar kalau baterai HP sudah tipis, padahal tulisan ini sebenarnya belum selesai. Kesadaran yang terlambat memang sering mengagetkan.
Nah, singkatnya nih (karena baterai HP dah mau habis) yang namanya “kaget” terjadi tiba-tiba dan sikap serta perilaku (aksi) dibawah kesadaran. Oleh karenanya, orang yang berprilaku 3 jenis kagetan tersebut diatas hendaknya dapat disadarkan atau ia akan sadar sendiri seiring perjalanan waktu & pengalaman hidup.
Sial!! Mau minum kopi, ada cicak didalamnya. Bikin kaget saja!
Salam Kaget!
(Kebun Tepi Sungai, 22/02/2024)
=====
Ahmadi Sofyan, dikenal panggilan Atok Kulop. Mengaku diri pemerhati budaya dan sosial, padahal gak diakui. Sekitar 80-an buku yang ia tulis sudah diterbitkan. Ia juga kaget kala 1.000-an opininya sudah dimuat di media cetak maupun online. Orang-orang juga kaget, ia tinggal di hutan, tapi masih tetap produktif menulis.