Filosofi “Kelekak” Dalam Kepemimpinan

Spread the love

Oleh: AHMADI SOFYAN

KEPEMIMPINAN “Kelekak” adalah kepemimpinan berkarakter dan visioner. Karena “Kelekak” kelak kek ikak
=====

HARUS bangga ketika kita disebut “urang Kelekak”. Dulu.., seringkali kita orang kampung kala masuk kota dianggap udik, kampungan, lalu disebut dengan sebutan “Urang Kelekak”. Seiring perjalanan waktu, nyatanya orang Kota banyak belajar dengan orang “kelekak”. Sebab betapa banyak orang-orang “kelekak” menguasai kesuksesan dalam berbagai bidang, terutama pendidikan, agama dan pemerintahan. Pun tak kalah jua, “urang kelekak” banyak membuka usaha di perkotaan, terutama di Pasar Tradisional.

“Kelekak” pada dasarnya adalah buah pemikiran dan aksi para orangtua atau Atok kita tempo doeloe guna meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi anak, cucu dan cicitnya. Istimewanya, peninggalan ini berkaitan dengan lingkungan (pepohonan) dan alam.

Seperti yang Penulis ungkapkan pada tulisan sebelumnya “Mengembalikan Kelekak, Kebun Buah-Buahan Khas Bangka”, bahwa dulu, Atok kita diusia senja dengan kondisi badan yang sudah ringkih, masih semangat dalam menamam. Sebuah perilaku yang sangat visioner dan sudah sangat jarang saat ini kita menyaksikan hal tersebut. Atok-Atok kita di Bangka Belitung cerdas memanfaatkan lahan mereka yang umumnya tak jauh dari sungai kecil dimana mereka mandi. Sambil pergi ke sungai untuk mandi, Atok-Atok kita itu kita membawa cangkul atau kedik beserta beberapa bibit tanaman, seperti: Durian, Manggis, Tampoi, Rambai, Duku, Setol, Jambu, dan banyak lagi jenisnya. Ia tanam di mana saja, tanpa tertata rapi. Nanti tanaman-tanaman itu cukup dipupukin dengan sampah dapur.

Sang cucu bertanya: “Kek ape Tok, lah tue baru nek nanam e, semile kek makan e?” (Untuk apa Kek, sudah tua baru bertanam, kapan makan hasilnya?) Sang Atok menjawab: “Atok nanam ne ukan kek Atok, tapi kelak kek ikak-lah” (Kakek nanam ini bukan untuk Kakek, tapi nanti untuk kalian).
Seiring perjalanan waktu, bibit buah–buahan yang ditanam Atok itu sudah menjadi pohon dan berbuah. Seperti yang sudah diperkirakan, Atok tak menikmati apa yang ia tanam. Sebab dirinya sudah lama terkubur, meninggal dunia sebelum yang ia tanam berbuah lebat. Ternyata, yang menikmati adalah cucu dan cicitnya. Begitulah kalimat “Kelak kek ikak” konon menjadi KELEKAK.

Kepemimpinan “Kelekak”
JIKA seorang pemimpin di Bangka Belitung, baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi serta para Legeslatif yang memahami nilai-nilai kearifan lokal, saya yakin filosofi “Kelekak” dalam sebuah kepemimpinan ini sangat positif dijalankan. Nilai-nilai yang terkandung didalam “kelekak” masih sangat up to date untuk diterapkan dalam kepemimpinan.

Dalam catatan Penulis yang memang hampir 1 tahun ini hidup di “Kelekak”, setidaknya ada 3 pelajaran penting dari filosofi “kelekak” dalam ranah kepemimpinan:

(1) Semangat Menanam
Pemimpin adalah orang yang menggerakan, memfasilitasi, membangkitkan dan merangkul semua elemen untuk menentukah keberlanjutan negeri menjadi lebih baik demi masa depan anak cucu dan cicit. Pemimpin yang menanam pohon, akan dinikmati buahnya oleh anak cucu. Pemimpin yang menggali lobang (menambang), maka bersiaplah anak, cucu & cicit jatuh ke dalam lubang “camuy”. Begitulah pelajaran menanam yang diteladani oleh Atok-Atok kita melalui “kelekak”.

Bangka Belitung memang wilayah tambang (timah), tapi bukan berarti kita melulu menambang, namun juga bisa menanam. Bahkan harus lebih galak lagi dalam perilaku menanam. Sebab, jika lahan-lahan tambang dibiarkan begitu saja, tanpa direkalamasi dan tak diolah dengan menanam, maka jangan salahkan jika nanti Negeri Serumpun Sebalai menjadi Negeri yang tak lagi nyaman untuk ditempati. Jangan sampai Bangka bertambah hurufnya menjadi “Bangkai”.
Dari “Kelekak” kita belajar kepada perilaku Atok-Atok kita terdahulu, bahwa diusia senjanya, mereka masih berusaha untuk menanam, walaupun mereka tahu bahwa mereka tak akan menikmati hasilnya. Menanam tak memandang usia dan profesi, sebab menanam bukan hanya petani.

Gerakan SEMARAK (Semangat Menanam Rakyat) Bangka Belitung yang menjadi salah satu program Pj. Gubernur, Dr. Safrizal ZA, yang diikuti oleh Forkopimda menjadi salah satu upaya menekan inflasi serta mengembalikan semangat menanam. Sebab jika tidak selalu digalakkan dalam kebiasaan menanam, maka masyarakat Bangka Belitung akhirnya hanya tahu menambang. Artinya, jika pemimpin hanya tahunya menggali lobang, bersiap anak, cucu, cicit jatuh kedalam lobang (camui).

(2) Visioner
Seorang pemimpin wajib berpikir dan bsrani bertindak visioner. Kalau hanya pemikiran tanpa diiringi keberanian, maka cukuplah menjadi motivator atau pengajar di sekolah/kampus. Dalam membangun wilayah, pemikirsn dan tindakan visioner seorang pemimpin menjadi wajib adanya. Sebab tanpa itu, pemimpin tidak akan meninggalkan jejak kepemimpinan setelahnya. Ia juga tak layak disebut pemimpin, tapi cukup pejabat. Sebab pemimpin dan oejabat berbeda maknanya bagi Penulis. Pejabat hanya menjalani apa yang diperintah dan diprogramkan yang diatasnya. Sedangkan pemimpin, ia harus menguras isi kepala untuk berinovasi dan melakukan aksi dari konsep yang ia miliki. Pemikiran seorang pemimpin bisa “dipertengkarkan” dalam segala ruang.

Melaui “Kelekak”, orangtua kita tempo doeloe memberikan keteladanan pemikiran dan aksi nyata dari sikap visioner. Bagaimana tidak, diusia senja, masihlah ia menanam. Bukan untuk dirinya, tapi untuk dinikmati anak, cucu dan cicitnya. Dalam masalah ketahanan pangan, Atok-Atok kita di Bangka Belitung jauh lebih visioner daripada kita sekarang ini. Padahal jalannya gak begitu jauh, pendidikannya tidaklah tinggi, tontonan tak ada, teknologinya manual dan tradisional, tapi hasilnya? “Kelekak” adalah salah satu bukti nyata betapa visionernya orangtua kita tempo doeloe.

(3) Berkarakter
Pemimpin yang memiliki karakter adalah pemimpin yang akan diingat dan dikenang oleh generasi berikutnya. Kepemimpinan seseorang setelah namanya disebut, maka selanjutnya adalah karakter yang melekat dalam diri sang pemimpin tersebut. Sampai hari ini, pertanyaan penting bagi kita, berapa banyak dan siapa saja pemimpin di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota yang memiliki karakter?

Dari “kelekak” orangtua kita tempo doeloe memberikan keteladanan bahwa keberadaan “kelekak” menjadi salah satu karakter yang kokoh dan bermanfaat. Nilai-nilai kearifan lokal, budaya, kebermanfaatan, pendidikan, lingkungan, memfasilitasi makhluk hidup lainnya, ada pada karakter “Kelekak”. Masihkah lagi kita meremehkan keberadaan dan kebermanfaatan “kelekak?”

Pemilu 2024 sudah berlangung, semoga Wakil Rakyat yang terpilih adalah Wakil Rakyat yang memahami nilai-nilai kearifan lokal seperti “kelekak”. Pilgub dan Pilkada Kota/Kabupaten sebentar lagi akan dimulai tahapannya, adakah pasangan calon dan yang terpilih adalah orang-orang yang memahami dan siap menjalani kepemimpinan “kelekak”? Ataukah hanya sekedar tipikal pemimpin serimonial dan dianggap sudah mengangkat & menjaga budaya hanya dengan berpantun ria disaat memberikan sambutan?
Ah, sudahlah….!

Salam Kelekak!!!

(Kebun Tepi Sungai, 24/02/2024)
====÷

Ahmadi Sofyan, dikenal akrab dengan nama Atok Kulop. Setahun terakhir ini ia banyak hidup menyendiri di “Kelekak” di Desa Kemuja. Ia sudah menulis 80-an buku dan 1.000-an Opininya sudah dimuat di media cetak & online.