Antara Gugatan Pasien dan Nasib Dokter

Spread the love

Oleh: Zen Adebi – Wartawan dan pemerhati isu pelayanan publik

*Ketika Tanggung Jawab Tak Diikuti Perlindungan*

KASUS dugaan malpraktik yang mencuat di RSUD Depati Hamzah, Kota Pangkalpinang, kembali menyorot satu persoalan laten dalam sistem kesehatan kita: lemahnya perlindungan hukum bagi tenaga medis, khususnya dokter yang bertugas di rumah sakit pemerintah.

Gugatan keluarga pasien terhadap tindakan medis yang diduga merugikan tentu merupakan hak hukum yang sah. Dalam negara hukum, setiap warga negara berhak mencari keadilan melalui jalur yang tersedia. Namun persoalan menjadi dilematis ketika dokter yang dituduh harus menghadapi proses hukum seorang diri, tanpa pendampingan dari organisasi profesi maupun pemerintah daerah sebagai pemberi kerja.

*Dokter: Mandiri Tapi Tak Sendiri?*

Posisi dokter dalam sistem pelayanan kesehatan memang unik. Meskipun berada dalam struktur birokrasi rumah sakit, ia bekerja secara profesional dan independen. Seorang dokter tidak hanya tunduk pada aturan administrasi rumah sakit, tetapi lebih dalam lagi, pada sumpah profesi, etika kedokteran, dan ilmu medis yang terus berkembang. Keputusan yang diambil seorang dokter bukanlah instruksi dari atasan birokrasi, melainkan hasil pertimbangan ilmiah yang menyangkut hidup dan mati.

Namun, kenyataan di lapangan kerap menyakitkan. Dalam banyak kasus, ketika dokter menghadapi tuntutan hukum, baik pemerintah daerah maupun organisasi profesi kerap tidak menunjukkan keberpihakan yang nyata. Alih-alih memberi pendampingan hukum atau moral, mereka justru absen di saat yang paling dibutuhkan.

*Antara Proses Medis dan Hasil Medis*

Di tengah masyarakat, masih banyak yang menyamakan kegagalan tindakan medis dengan malpraktik, bahkan menganggapnya sebagai tindak pidana. Padahal, dalam hukum kedokteran dikenal asas inspanningverbintenis — tanggung jawab berdasarkan upaya maksimal sesuai standar profesi — bukan resultaatsverbintenis, yang mengharuskan tercapainya hasil tertentu.

Seorang dokter tidak menjamin kesembuhan, tetapi berjanji memberikan pelayanan medis terbaik sesuai prosedur. Maka ketika seorang dokter telah bertindak dengan itikad baik dan mengikuti standar profesi, proses hukumnya pun seharusnya berjalan secara adil dan proporsional, bukan berdasarkan tekanan opini publik semata.

*Negara Tidak Boleh Absen*

Perlindungan hukum bagi tenaga medis bukanlah bentuk impunitas. Ia adalah jaring pengaman bagi profesi yang mengandung risiko tinggi, tempat keputusan sulit harus diambil dalam waktu singkat dan di tengah tekanan berat. Negara dan organisasi profesi seharusnya menjadi pihak yang paling pertama hadir — bukan paling akhir muncul atau bahkan tak terlihat sama sekali.

Kasus di RSUD Depati Hamzah seharusnya menjadi cermin korektif. Ketika dokter merasa tidak aman menjalankan profesinya, akan muncul ketakutan untuk mengambil tindakan medis yang krusial. Jika ini terjadi secara meluas, maka bukan hanya inspanningverbintenis, masyarakatlah yang akan paling merasakan dampaknya.

*Antara Dua Hak yang Harus Dilindungi*

Tulisan ini bukan pembelaan sepihak untuk dokter, juga bukan pengabaian terhadap hak pasien. Ini adalah seruan untuk menghadirkan keadilan yang berimbang. Hak pasien untuk menggugat harus dijamin. Namun hak dokter untuk diproses secara adil dan dilindungi secara profesional juga harus ditegakkan.

Karena bila sistem dibiarkan timpang, yang akan masuk ruang gawat darurat bukan lagi pasien, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan itu sendiri.

Tentang Penulis

Zen Adebi adalah wartawan yang mengaku sebagai alumni Universitas Gunung Maras (UGM) — sebuah perguruan tinggi fiktif yang belum tercatat di Dikti, namun kaya akan semangat akademik dan humor realistik. Di UGM, ia menyandang dua gelar: Sarjana Hukum Perkeliruan dan Sarjana Ilmu Politik Perkeliruan — spesialisasi dalam membedakan antara salah paham dan salah prosedur.

Kini, ia tengah mempertimbangkan mengambil mata kuliah dokter spesialis Jantungan — sebuah bidang imajiner yang sangat berguna untuk menghadapi realita sosial yang makin membuat deg-degan. Meski gelar dan kampusnya tidak diakui negara, Zen berharap pemerintah dan organisasi profesi tidak meniru kampusnya: tidak hadir saat paling dibutuhkan.

Catatan Redaksi :
————————————

Isi narasi opini ini di luar tanggung jawab Redaksi, apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Berita Sanggahan dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.