Advokatnews-Jakarta, 18/10/2020 Terkait kekerasan yang terjadi pada Pers dalam masa demo penolakan UU Cipta Kerja (Omnibus LAW), Komunitas Pers mempertimbangkan untuk melakukan gugatan kepada Presiden serta Kapolri.
Hal ini dilakukan karena, kekerasan yang terjadi pada insan pers, terkesan sengaja dilakukan oleh para oknum penegak hukum, yang pada saat itu melakukan pengamanan, atas masa yang sedang melakukan aksi demo di berbagai daerah.
Lembaga Bantuan Hukum Pers Mona Ervita SH, mengatakan, “kekerasan yg terjadi pada insan pers, saat di laporkan pada pihak kepolisian, tidak pernah ada kejelasan”. ucap nya.
Mona Ervita SH juga menambahkan, bahwa lembaga nya bersama komunitas pers lain nya akan mempertimbangkan untuk menggugat Presiden dan Kapolri, yang di duga melakukan pembiaran aksi kekerasan terhadap insan pers (jurnalish/wartawan).
Menurut Mona Ervita, “pembiaran kekerasan yang terjadi pada insan pers, sudah terstruktur” ucap nya, saat konferesi pres daring, dalam pertimbangan ajuan gugatan ini, Mona Ervita berharap agar tidak terjadi lagi kasus-kasus kekerasan terhadap para jurnalish/wartawan di kemudian hari nya.
Di satu sisi, Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan “kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oleh oknum kepolisian, dapat membahayakan demokrasi, dan juga merupakan tindak pidana yang harus diadili di pengadilan”, tutur nya.
Sekjen IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Indria Purnama Hadi, menjelaskan, “hingga saat ini ada 38 kasus kekerasan terhadap jurnalis, saat aksi penolakan UU Cipta Kerja (Omnibus LAW) yang terdata oleh Komite Keselamatan Jurnalis”.
Dalam hal ini, UU Pers no 40 tahun 1999 (yang mengatakan kebebasan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat) dimana kebebasan pers saat ini, bilamana masih ada intimidasi dan kekerasan terhadap para insan pers, bagaimana bisa, insan pers memberikan informasi, bilamana ada intimidasi dan kekerasan pada insan pers. (Ko2 & SH)