Advokatnews,
Jagat medsos kembali dihebohkan dengan sebuah kisah perundungan dan penganiayaan terhadap seorang siswi SMP oleh sekelompok siswi SMA di Pontianak. Kisah yang beredar di medsos adalah Aud (korban) dianiaya oleh 12 orang, bahkan sampai melukai organ intim si korban. Warganet bereaksi cukup keras, kisah yang belum jelas kebenaran detailnya menjadi sangat viral. Netijen seperti berlomba-lomba untuk menghujat terduga pelaku. Bahkan tak segan-segan menyebarkan foto terduga pelaku yang masih anak di wallnya masing-masing. #JusticeforAudrey menjadi trending topic, bahkan petisi online di change.org mencapai 3.7 juta penandatangan.
Kasus ini bahkan menarik perhatian Presiden RI, yang dalam wallnya meminta untuk Polisi mengusut kasus ini sampai tuntas. Ternyata setelah melakukan visum, didapatkan bahwa tidak ada penganiayaan organ intim seperti yang viral di media.
Kejadian ini menunjukkan setidaknya 2 hal, bahwa banyak netijen yang begitu mudah menyebarkan berita tanpa validasi, dan ketidak mengertian akan proses peradilan pidana anak. Opini-opini negatif terlanjur dibentuk karena Polisi mengedepankan proses rekonsiliasi ketimbang menangkap dan menahan terduga pelaku.
Sebetulnya bagaimana peraturan perundang-undangan kita mengatur bila anak melakukan pidana?
Kategori Anak dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Menurut UU no. 11 tahun 2012 mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak, anak di bawah umur adalah seseorang yang berumur 12 sampai 18 tahun. UU SSPA mengkategorikan anak-anak yang terlibat pidana dalam 3 kategori :
a. Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) (Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) (Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
Tujuan yang ingin diraih dalam UU Sistem Peradilan Anak
UU SPPA bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Di dalam UU SPPA, fokus utama adalah perlindungan, rekonsiliasi dan perbaikan, bukan penghukuman. Setiap pihak harus terlindungi, tercipta keadilan bagi korban, ada perbaikan bagi korban, pelaku dan masyarakat, dan terjadi rekonsiliasi.
Sanksi untuk Anak
Belajar dari kasus Aud, banyak netijen yang beranggapan bahwa Polisi tidak adil karena mengutamakan musyawarah antara pelaku dan korban. Padahal, dalam UU SPPA, pidana anak harus diselesaikan dengan mengedepankan Restorative Justice dan Diversi . (baca : Restorative Justice, pidana bukan cuma penjara) . Maksudnya adalah anak sebisa mungkin dihindarkan dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses yang dilakukan adalah mempertemukan pelaku, saksi, korban dan masyarakat untuk memperbaiki, mencapai sebuah rekonsiliasi, dan menenteramkan hati, bukan berdasarkan pembalasan.
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun (Pasal 69 ayat (2) UU SPPA) dan Pidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas.
Sanksi tindakan menurut Pasal 82 UU SPPA:
1. Pengembalian kepada orang tua/Wali;Penyerahan kepada seseorang;
2. Perawatan di rumah sakit jiwa;
3. Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial);
4. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
5. Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
6. Perbaikan akibat tindak pidana.
Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan (Pasal 71 UU SPPA)
Pidana Pokok terdiri atas:
1. Pidana peringatan;
2. Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
3. Pelatihan kerja;
4. Pembinaan dalam lembaga;
5. Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari:
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
2. Pemenuhan kewajiban adat.
Sedangkan untuk pelaku anak-anak di bawah umur 12 Tahun, UU Sistem Peradilan Anak mengatur sebagai berikut (Pasal 21 UU SPA):
1. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
2. Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Hal-hal lain yang membedakan Sistem Peradilan Anak dengan Peradilan Dewasa
Selain penerapan sanksi yang berbeda antara anak dengan orang dewasa, ada hal-hal lain yang membedakan Peradilan Anak dengan orang dewasa. (Pasal 3 UU SPPA)
1. Anak harus dipisahkan dari orang dewasa
2. Anak tidak bisa dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup
3. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
4. Peradilannya (bila masuk pengadilan) harus tertutup
5. Identitasnya tidak boleh dipublikasikan
6. Memperoleh pendidikan.
7. Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
8. Saksi anak dapat memberikan keterangan melalui rekaman. Jadi tidak diwajibkan seorang saksi anak dihadirkan di pengadilan. (Pasal 58 (3) UU SPPA).
9. Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA, anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda.
Kesimpulan
Banyak hal yang mendasar antara peradilan pidana anak dan pidana untuk orang dewasa. Fokus peradilan pidana anak bukanlah penjara. Fokusnya selain mencari keadilan bagi korban, tapi juga adalah pemulihan dan perlindungan baik itu korban, pelaku dan saksi, melalui pendekatan Restorative Justice dan proses Diversi. Memberikan penghakiman lewat media sosial dengan menyebarkan foto pelaku tidak sesuai dengan semangat yang ingin diraih dalam UU SPPA. Kita diharapkan lebih bijak dalam menyebarkan sesuatu lewat media sosial. (*/Int)